quiscalusmexicanus.org – Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan strategis untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara, sebuah langkah yang dipercepat untuk memungkinkan kota baru ini berfungsi sesegera mungkin.
Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke IKN pada tahun 2019, dengan tujuan utama untuk mengurangi beban pada Jakarta dan wilayah Jabodetabek yang terus bertambah.
Jakarta saat ini menghadapi masalah ekologis serius, yaitu penurunan permukaan tanah yang signifikan. Beberapa area di kota ini bahkan berisiko tenggelam akibat kombinasi dari penurunan tanah dan kenaikan permukaan air laut.
Perhatian internasional juga tertuju pada masalah ini, termasuk dari Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Dalam sebuah pidato di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada Juli 2021, Biden menyatakan bahwa Jakarta berisiko tenggelam karena efek perubahan iklim global. “Jika permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, kita akan melihat jutaan orang terpaksa migrasi mencari lahan yang lebih tinggi,” kata Biden.
Berdasarkan data dari World Economic Forum pada tahun 2019, Jakarta diidentifikasi sebagai kota yang paling berisiko tenggelam pada tahun 2100, diikuti oleh Lagos di Nigeria, dan Houston di AS.
NASA, pada tahun 2021, mengindikasikan bahwa pemanasan global dan mencairnya lapisan es telah meningkatkan risiko banjir di kota-kota pesisir seperti Jakarta. “Banjir semakin parah dalam beberapa dekade terakhir karena pemompaan air tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan tanah,” ucap perwakilan NASA.
NASA juga mencatat peningkatan rata-rata kenaikan permukaan laut global sebesar 3,3 mm per tahun, dan tren badai yang lebih intens seiring dengan pemanasan atmosfer. Sejak 1990-an, Jakarta telah mengalami banjir besar yang serius, termasuk pada musim hujan tahun 2007 yang mengakibatkan 70% kota terendam.
Gambar landsat yang diunggah oleh NASA menunjukkan perubahan dalam tiga dekade terakhir di Jakarta, menyoroti kerusakan akibat pembabatan hutan dan vegetasi, serta pembangunan yang meningkatkan wilayah kedap air di sepanjang sungai-sungai utama seperti Ciliwung dan Cisadane, mengurangi kapasitas penyerapan air dan meningkatkan risiko banjir bandang.
Pertumbuhan populasi yang cepat di Jakarta, dari tahun 1990 hingga 2020, juga telah menambah jumlah penduduk di daerah-daerah rawan banjir. Kondisi ini diperparah oleh penyempitan dan penyumbatan berkala pada saluran-saluran air dan kanal oleh sedimentasi dan sampah, meningkatkan kerentanan terhadap luapan air.